JAKARTA – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak perempuan Indonesia untuk selalu melanjutkan perjuangan para pemimpin perempuan terdahulu.
Demikian disampaikan Menteri PPPA dalam sambutannya pada kegiatan Sekolah Pimpinan Perempuan ‘Identitas Perempuan dalam Sejarah Indonesia dan Pencegahan Kekerasan Seksual dan Penanganannya’ secara virtual.
Dikatakannya, perjuangan dilakukan dengan terus melahirkan pemimpin-pemimpin perempuan yang berkualitas dan berkompetensi sehingga mampu membawa perubahan dan menjawab permasalahan perempuan dan anak yang dihadapi di tengah masyarakat.
“Dari perjuangan pendahulu kita, sesungguhnya kepemimpinan perempuan di Indonesia bukanlah hal yang asing, dimulai dari tokoh pahlawan perempuan hingga bermunculannya organisasi perempuan yang turut membantu dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, salah satunya adalah Kongres Perempuan pertama yang diselenggarakan pada 22 Desember 1928,” ujar Menteri.
Siaran pers yang disampaikan Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, disebutkan Menteri PPPA mengakui hingga kini, ketidaksetaraan masih sering dirasakan oleh perempuan. Perempuan masih terbelenggu berbagai diskriminasi gender, seperti marginalisasi, stereotype, subordinasi, beban ganda, dan kekerasan.
Hal tersebut terlihat dari data dan realita bahwa ketimpangan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat hasil pembangunan yang dirasakan oleh perempuan dan laki-laki masih terlihat sangat jelas.
“Berbagai indeks pun menggambarkan ketimpangan yang dirasakan oleh perempuan, baik dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), maupun Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Tidak hanya itu, perempuan juga merupakan kelompok rentan yang mengalami kekerasan. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi dan hampir terjadi setiap saat,” jelas Menteri PPPA.
Berkaca pada fenomena yang dihadapi, Menteri PPPA menyampaikan kaum perempuan di Indonesia bergerak memperjuangkan tonggak perubahan berupa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang dilahirkan melalui perjalanan panjang pembahasan dan dialog efektif bersama Kementerian/Lembaga Negara, Anggota Parlemen Perempuan, dan para perempuan di lembaga dan organisasi masyarakat lainnya.
Hal tersebut membuktikan perempuan dan para pemimpin perempuan memiliki peran penting dalam mengurai permasalahan yang dihadapi oleh perempuan dan anak.
“Hadirnya UU TPKS menjadi bukti nyata bahwa perempuan mampu berperan dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Kita sebagai perempuan sepatutnya bangga atas pencapaian bersama ini yang mampu memastikan perlindungan bagi perempuan dan anak dari tindak pidana kekerasan seksual. Kita pun harus bersama-sama bekerja keras agar UU TPKS dapat dilaksanakan, diamalkan, hingga semua pihak sadar bahwa ada hukum yang memagari tindak tanduk orang dan memberikan efek jera,” tutur Menteri PPPA.
Lebih lanjut, Menteri PPPA menekankan perempuan pun dapat berperan dalam upaya menurunkan angka kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Perempuan mampu menjembatani berbagai stakeholder yang terlibat dalam ranah penurunan angka kekerasan. Menteri PPPA menjelaskan terdapat 3 (tiga) ranah pekerjaan yang juga harus dilaksanakan secara kolaboratif dan sinergi dalam upaya penurunan angka kekerasan, yakni ranah pencegahan, penanganan, dan pemulihan.
“Proses penanganan kekerasan seksual dimulai dari pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan tidak dapat diselesaikan dengan kerja keras dari satu ataupun dua lembaga semata, melainkan suatu kerjasama yang dilakukan secara kompak dan serentak antar pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, akademisi, media massa, hingga kaum perempuan itu sendiri,” ungkap Menteri PPPA.
Menteri PPPA menuturkan dalam memastikan penanganan tepat tindak kekerasan yang dialami perempuan dan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menghadirkan layanan pengaduan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang dapat diakses melalui hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129.
dapun terdapat enam (6) standar pelayanan SAPA 129, berupa pengaduan masyarakat, pengelolaan kasus, penjangkauan korban, pendampingan korban, mediasi, dan penempatan korban di rumah aman. Hingga saat ini, layanan pengaduan SAPA 129 telah menjadi saluran bagi korban dan pelapor untuk mengadukan kasus kekerasan yang dialami. Sudah banyak kasus kekerasan yang dilayani oleh Tim SAPA 129 yang juga berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dalam proses penjangkauan dan pendampingan korban di daerah.
“Sebagai perempuan Indonesia, marilah kita satukan kekuatan untuk terus berjuang menjadi pemimpin yang berkualitas dan berkompetensi sehingga kita mampu bersama-sama menciptakan perubahan dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh perempuan dan anak,” tandas Menteri PPPA. (*/jmdn)