JAKARTA – Dinamika kemerdekaan pers di Indonesia cenderung membaik dari tahun ke tahun pasca reformasi. Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria menyatakan, salah satu indikasinya tampak dari catatan penerapan kebebasan pers. Bahkan, Indonesia diakui sebagai champion di Asia Tenggara.
“Setelah di era reformasi, kita melihat ada pergeseran. Jadi, negara lebih sedikit melakukan tindakan-tindakan yang mengancam keamanan wartawan. Ini akibat adanya pelembagaan demokrasi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” ujarnya dalam Diskusi Publik: Keamanan Jurnalis, Tanggung jawab Siapa?, yang berlangsung secara hibrida dari Hotel Morissey, Jakarta Pusat, Senin (07/08/2023).
Wamenkominfo menyatakan, saat ini kehidupan pers nasional lebih banyak dipantau oleh self regulatory body yaitu Dewan Pers. Bahkan, Indonesia menjadi champion kebebasan pers di Asia Tenggara karena keberadaan Dewan Pers.
“Hadirnya Dewan Pers ini saya kira cukup membantu menyelesaikan persoalan-persoalan di komunitas pers sendiri,” jelasnya.
Wamen Nezar Patria menjelaskan kebebasan pers di Indonesia tetap terjaga karena adanya jalan tengah yang diambil Dewan Pers dan Kepolisian.
“MoU Dewan Pers dengan Kapolri dan Kejaksaan Agung ini sudah berjalan hampir 10 tahun. Dari MoU ini turun jadi PKS dan sekarang ke Perkap (Peraturan Kapolri). Koridornya makin jelas, SOP-nya makin jelas sehingga tidak terjadi lagi kebingungan-kebingungan,” tuturnya.
Dalam diskusi yang menjadi rangkaian peringatan ulang tahun ke-29 Aliansi Jurnalis Independen itu, Wamenkominfo Nezar Patria juga mengucapkan selamat kepada organisasi profesi jurnalis Indonesia,
“Hampir separuh hidup saya lah AJI ini. Jadi, saya sangat gembira untuk bersama-sama lagi dengan teman-teman untuk bicara tentang kondisi pers kita hari ini,” ujar Wamenkominfo yang pernah lama berkiprah di dunia industri media.
Dalam diskusi hasil kerja sama AJI, USAID dan Internews itu hadir Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Mufti Makarim; Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy; Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli; serta Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin.
Soal Profesionalisme
Sisi lain, Wamenkominfo mengingatkan, bahwa keberadaan platform media sosial telah memunculkan fenomena baru, yaitu entitas perusahaan atau organisasi yang melakukan praktik jurnalistik namun tidak terdaftar sebagai perusahaan media.
Wamen Nezar Patria, menyoroti keberadaan homeless media itu dan mengaitkannya dengan profesionalisme pers di Indonesia. “Jadi homeless media ketika ada persoalan menyangkut informasi yang dimuat dan dilaporkan oleh masyarakat, lalu dilaporkan ke polisi, homeless media ini kemudian menuntut dilindungi lewat Undang-Undang Pers,” ungkapnya.
Menurut Wamenkominfo terdapat perbedaan cukup mencolok antara media mainstream yang dilindungi Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan media yang bergerak di sosial media.
“Ada beda dalam cara ungkap, kepatutan dan etika yang diatur oleh Kode Etik Jurnalistik. Kita lihat terjadi sekarang begitu banyak di media sosial, para seleb-seleb media sosial jadi rujukan untuk informasi publik. Kalau anda seorang selebriti, anda bisa ngulas soal politik, ekonomi, budaya segala macam dengan cukup bebas gitu,” jelasnya.
Wamen Nezar Patria mengakui tidak mudah berhadapan dengan disrupsi akibat teknologi maupun kultur masyarakat yang sudah mulai berubah. Namun demikian, menurut Wamenkominfo aspek profesionalisme harus menjadi tolak ukur yang utama.
“Yang paling penting adalah bagaimana satu aturan yang bisa merespons perkembangan-perkembangan terbaru di ranah media sosial,” tandasnya.
Dalam diskusi hasil kerja sama AJI, USAID dan Internews itu hadir Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Mufti Makarim; Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy; Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli; serta Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin. (*/jmdn)