Banyuwangi, Desa Parangharjo – Tegal Perangan, adalah nama sebuah tempat atau kawasan yang termasuk dalam wilayah administrasi Pemerintah Desa Parangharjo, Kecamatan Songgon. Dalam catatan Sejarah, kawasan Tegal Perangan ini disebut sebagai salah satu kawasan medan tempur pada puncak terjadinya Perang Puputan Bayu tahun 1771 silam.
Di kawasan yang sekarang ini bernama Dusun Krajan Wetan itu, puluhan ribu orang prajurit dan warga Blambangan (Banyuwangi) berguguran saat berperang melawan Tentara Belanda. Perang habis-habisan yang dilakukan Masyarakat Banyuwangi melawan penjajahan Belanda itu jejaknya masih ada dan bisa ditemukan.
Salah satunya adalah sebuah makam kuno yang diyakini masyarakat sekitar sebagai makam seorang tokoh Wanita Blambangan yang berjuluk ‘Ratu Perang Gunung Raung’, yakni Mas Ayu Wiwit atau Sayu Wiwit. Tokoh Wanita berdarah biru keturunan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati – penguasa terakhir Kerajaan Blambangan di Macan Putih – itu makamnya ditemukan di areal persawahan di pinggiran Dusun Krajan Wetan yang dahulu bernama; Tegal Perangan.
Beberapa tahun lalu, hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa arkeolog juga menemukan sebuah struktur bangunan kuno yang diperkirakan sebagai reruntuhan bangunan ‘Benteng Bayu’ yang terletak di Kawasan ‘Setro’ di Dusun Krajan Wetan. Dilokasi tersebut juga banyak ditemukan berbagai artefak kuno yang saat ini disimpan dengan baik oleh Pemerintah Desa Parangharjo.
Untuk mengenang Sejarah perang besar yang pernah terjadi di Bumi Blambangan itu, Pemerintah dan Masyarakat Desa Parangharjo mengabadikannya dalam berbagai kegiatan, seperti napak tilas serta kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan sejarah keberadaan Desa Parangharjo.
Dalam kerangka itulah, Kepala Desa Parangharjo, Weny Pipiet Hardiyanti, S.Pd., pun memutuskan untuk mengangkat fenomena Sejarah besar yang pernah terjadi di kawasan tersebut sebagai bentuk kekayaan budaya dan mempersiapkannya sebagai destinasi wisata Sejarah. “Bersama komponen lainnya, kita sudah memutuskan untuk mengangkat fenomena Sejarah ini sebagai ‘komoditi’ wisata berbasis Sejarah. Untuk itu, tahun depan kita akan membangun infra-struktur pendukung seperti; Musium Mini, yang akan diisi dengan pernak-pernik Sejarah yang sudah ditemukan di wilayah ini,” ungkap Bu Kades.
Sementara itu, sebuah monumen yang dibangun di ujung timur desa, tepatnya diperbatasan antara Desa Parangharjo dengan Desa Bedewang, telah berdiri megah untuk mengenang jasa para leluhur yang telah gugur dalam pertemburan besar Perang Bayu. Peresmian monument tersebut diawali dengan kirab budaya yang diikuti warga dan para tamu, yang dimulai dari depan kantor desa menuju lokasi monument yang berjarak sekitar 1 kilometer.
Saat ini, Desa Parangharjo yang beberapa ratus tahun silam menjadi ‘medan perang’ Puputan Bayu ini telah berubah menjadi Kawasan desa yang aman dan tenteram. Desa dengan total jumlah penduduknya yang mencapai 4.509 jiwa (1.931 KK) yang tersebuar di 4 wilayah Dusun yakni; Dusun Krajan Kulon, Dusun Krajan Wetan, Dusun Bangunrejo dan Dusun Rejeng, ini dengan segala potensi yang dimilikinya terus berusaha membangun kehidupan yang layak dan modern tanpa mengabaikan sejarah yang menjadi cikal-bakal keberadaannya. Salah satunya, dengan mengangkat berbagai peninggalan Sejarah serta cerita-cerita folklore yang meyertainya sebagai bentuk kekayaan budaya. (bo)