Pelajaran dari Polemik Distribusi Gas Melon

  • Whatsapp
Tangkapan layar, seorang warga memprotes langsung Menteri ESDm Bahlil Lahadalia di Tangerang, Selasa (4/2/2025).

Jakarta, 5/2 (ANTARA) – Meskipun hanya seberat 3 kg, namun polemik yang ditimbulkan dari upaya penataan sistem distribusi elpiji (liquified petroleum gas/LPG) 3 kg atau gas melon di Indonesia memberikan pelajaran yang lebih berat dan bermakna.

Kisahnya dalam beberapa hari terakhir bagaikan drama yang menggemparkan seluruh pelosok tanah air dan langsung menjadi polemik nyata di kalangan masyarakat. Terjadi antrean panjang, kelangkaan di sejumlah daerah, hingga perdebatan tentang siapa yang berhak mendapatkan subsidi.

Polemik tersebut mengemuka ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan bagi pengecer untuk menjual elpiji 3 kg, untuk alasan menertibkan distribusi agar lebih terkontrol.

Namun, kebijakan ini faktanya tidak selalu berjalan mulus. Di berbagai daerah, terutama di wilayah perkotaan dengan populasi padat dan daerah pelosok dengan akses terbatas, masyarakat justru mengalami kesulitan untuk mendapatkan elpiji 3 kg.

Bagi sebagian besar keluarga kecil, warung pengecer adalah tempat yang paling mudah dijangkau. Mereka bisa membeli kapan saja tanpa harus pergi jauh ke pangkalan resmi yang jumlahnya terbatas.
Dengan kebijakan baru ini, pilihan mereka menjadi terbatas, yakni harus pergi ke pangkalan dengan risiko kehabisan stok atau membeli elpiji nonsubsidi yang harganya jauh lebih mahal.

Maka hanya dalam beberapa hari, dampak kebijakan mulai terlihat. Di sejumlah daerah seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, masyarakat mengeluhkan antrean panjang di pangkalan resmi.

Banyak ibu rumah tangga dan pelaku UMKM harus berangkat pagi-pagi hanya untuk memastikan mereka bisa mendapatkan elpiji sebelum stok habis.

Di daerah lain seperti Kalimantan dan Sulawesi, distribusi yang belum siap menyebabkan pasokan tersendat, bahkan beberapa wilayah sempat mengalami kelangkaan.

Tidak hanya itu, para pengecer kecil yang selama ini menggantungkan hidup dari menjual elpiji 3 kg juga terkena imbas.

Banyak di antara mereka yang kehilangan pendapatan seketika karena tidak bisa lagi menjual barang yang selama ini menjadi sumber penghasilan utama.

Melihat situasi yang berkembang, Presiden Prabowo Subianto akhirnya turun tangan. Ia memberikan arahan agar pengecer diizinkan kembali menjual elpiji 3 kg untuk menghindari dampak buruk bagi masyarakat kecil.

Keputusan ini disambut baik oleh banyak pihak, terutama masyarakat yang selama ini mengandalkan pengecer sebagai sumber utama elpiji mereka.

Namun, keputusan ini juga menegaskan bahwa kebijakan publik tidak bisa hanya didasarkan pada hitungan teknis di atas kertas.

Ada realitas sosial dan ekonomi yang harus dipertimbangkan, terutama ketika kebijakan tersebut menyangkut kebutuhan dasar masyarakat.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ Achmad Nur Hidayat menilai para pembantu Presiden harus mulai benar-benar memahami visi dan misi Presiden, serta tidak keliru menerjemahkan percepatan sehingga tidak perlu ada kebijakan yang justru menimbulkan gejolak di kalangan masyarakat.

Ia sekaligus menyarankan pentingnya penyusunan kebijakan yang senantiasa mempertimbangkan dan memahami kondisi rakyat. Sebab kebijakan yang berpihak pada rakyat tidak hanya tentang memastikan kebutuhan mereka terpenuhi, tetapi juga mampu memberikan solusi yang tidak menambah beban hidup mereka.

Antrean panjang warga untuk membeli gas LPG 3 kg.

Perlu persiapan

Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah bahwa reformasi distribusi elpiji tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba tanpa persiapan yang matang.

Data memang tidak bisa disangkal yang menunjukkan bahwa sekitar 60 persen subsidi elpiji 3 kg justru dinikmati oleh kelompok ekonomi menengah ke atas.

Namun, cara penyelesaiannya juga harus dilihat secara holistik dan tidak membatasi akses tanpa solusi yang konkret. Di satu sisi, perubahan juga harus dilakukan secara bertahap, dengan sistem yang lebih terstruktur dan mekanisme kontrol yang lebih baik.

Salah satu pendekatan yang bisa dipertimbangkan adalah memperbaiki sistem distribusi berbasis data kependudukan yang lebih akurat.

Pemerintah sebenarnya sudah mulai menerapkan sistem pembelian elpiji dengan pencatatan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Namun, sistem ini masih dalam tahap uji coba dan belum sepenuhnya diterapkan secara nasional.

Jika sistem ini dijalankan dengan baik, maka subsidi bisa benar-benar tepat sasaran tanpa harus menciptakan kesulitan akses bagi masyarakat kecil.

Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat infrastruktur distribusi elpiji, terutama di daerah yang masih sulit dijangkau. Jika memang pengecer ditertibkan, maka harus ada langkah konkret untuk memastikan bahwa pangkalan resmi tersedia dalam jumlah yang cukup dan mudah diakses. Menjadikan pengecer sebagai sub-pangkalan juga memerlukan waktu yang tidak seketika.

Jika ini langsung diterapkan ada potensi justru bisa menciptakan pasar gelap yang lebih sulit dikontrol.

Di banyak daerah, ketika distribusi formal mengalami kendala, pada praktiknya justru kerap muncul spekulan yang menjual elpiji dengan harga lebih tinggi. Hal-hal seperti inilah yang ke depan perlu benar-benar diwaspadai.

Ekonomi makro

Kebijakan energi memang tidak bisa dilepaskan dari pertimbangan ekonomi makro. Indonesia saat ini masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan elpiji dalam negeri.

Dari total konsumsi elpiji nasional yang mencapai sekitar 8,7 juta ton per tahun, lebih dari 6 juta ton di antaranya berasal dari impor.

Ini berarti fluktuasi harga minyak dunia akan sangat mempengaruhi biaya subsidi yang harus ditanggung pemerintah.

Dengan kondisi fiskal yang terus menghadapi tekanan, wajar jika pemerintah mencari cara untuk menekan anggaran subsidi yang semakin membengkak.

Namun, pengurangan subsidi tidak boleh dilakukan dengan cara yang membebani masyarakat kecil. Jika pemerintah ingin mengurangi beban subsidi elpiji, maka harus ada alternatif yang jelas.

Salah satu solusinya adalah dengan mendorong penggunaan energi alternatif seperti gas alam terkompresi (CNG) untuk sektor industri dan komersial, sehingga konsumsi elpiji bisa lebih difokuskan pada rumah tangga yang benar-benar membutuhkan.

Selain itu, pemerintah juga bisa mendorong inovasi energi seperti penggunaan biogas yang lebih berkelanjutan.

Keputusan Presiden Prabowo untuk mencabut larangan pengecer elpiji 3 kg menunjukkan bahwa kebijakan yang berpihak pada rakyat selalu menjadi prioritas.

Namun, ini juga menjadi peringatan bahwa kebijakan yang diambil harus melalui kajian mendalam sebelum diterapkan.

Tidak cukup hanya dengan niat baik untuk memperbaiki sistem, tetapi juga harus ada strategi implementasi yang matang agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.

Ke depan, pemerintah perlu belajar dari pengalaman ini. Setiap kebijakan, terutama yang menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, harus dikaji dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampaknya terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan.

Sosialisasi yang cukup dan komunikasi yang baik dengan masyarakat juga menjadi faktor kunci agar kebijakan yang diterapkan bisa dipahami dan diterima dengan baik.

Reformasi distribusi elpiji memang diperlukan, tetapi harus dilakukan dengan cara yang bijak. Jika tidak, kebijakan yang seharusnya bertujuan untuk menata ulang sistem justru bisa menjadi bumerang yang menciptakan ketidakstabilan di lapangan.

Indonesia membutuhkan kebijakan energi yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga adil dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat.

Dengan perencanaan yang lebih baik, semua berharap ke depan tidak ada lagi kebijakan yang harus meresahkan masyarakat karena kurang mempertimbangkan realitas di lapangan.

Para pemangku kebijakan juga diharapkan semakin solid dalam menjaga kredibilitas dan wibawa pemerintahan, serta benar-benar menjalankan tugas mereka demi kesejahteraan rakyat Indonesia. (ANTARA/Hanni Sofia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *