Komunitas Lima Gunung: Panggilan Nurani Untuk “Napak Bumi”

  • Whatsapp
Para seniman petani Komunitas Lima Gunung melakukan pembacaan tembang Mocopat dan kenduri "Selamaten" pada peringatan Hari Peradaban Desa 2025 dengan tema "Napak Bumi" di Pendopo Padepokan Tjipto Boedaja Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (20/5/2025) malam. ANTARA/Hari Atmoko

Magelang, 22/5 (ANTARA) – Dalam dekapan hawa dingin malam kawasan Gunung Merapi, seniman petani Komunitas Lima Gunung berkumpul di Pendopo Padepokan Tjipto Boedojo Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kabupaten Magelang, Jateng memulai agenda tahun kelima, peringatan Hari Peradaban Desa.

Peringatan yang oleh komunitas seniman petani Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh Kabupaten Magelang dengan para pegiatnya dijatuhkan setiap 21 Mei tersebut, pada tahun kelima ini mengusung tema “Napak Bumi”.

Selama Selasa (20/5) malam hingga Rabu (21/5) pagi, komunitas yang dirintis kelahiran dan dibangun kemandirian oleh budayawan Magelang, Sutanto Mendut (71), lebih dari 25 tahun lalu tersebut, melakukan peringatan Hari Peradaban Desa. Mereka yang mengikuti kegiatan itu berjumlah sekitar 100 seniman petani dan pegiat budaya, baik laki-laki maupun perempuan. Masing-masing mengenakan pakaian khas Jawa.

Melalui peringatan itu, Komunitas Lima Gunung hendak menghadirkan ruang dan waktu pencarian kembali kearifan desa dan warisan nilai luhur untuk menjadi pusaka menghadapi tantangan perkembangan zaman yang kompleks, perubahan lingkungan alam yang sedemikian rupa, dan meneguhkan keadaban baru agar tetap berpijak kepada keluhuran bangsa.

Oleh pemerhati budaya yang sedang menjalani studi program doktoral untuk ilmu kajian budaya di Universitas Amsterdam Belanda, Brian Trinanda K Adi, tema “Napak Bumi” dipandang bukan sekadar ajakan kepada elemen bangsa menghindari jebakan hiruk-pikuk peradaban modern, namun sebagai seruan lantang yang mengoyak kekosongan batin bangsa.

Terlebih kepada para elite, “Napak Bumi” menjadi gema menembus batas-batas ego yang mengingatkan mereka tentang keadilan sejati, yang mesti lahir dari keberanian mendengar, memahami, dan akhirnya menapakkan kaki secara sungguh-sungguh menyentuh bumi.

Tentu saja, ikhwal itu sebagai tak mudah terwujud di tengah kepemimpinan negeri di tangan penguasa yang dikerumuni oligarki. Meski demikian, “Napak Bumi” pada Hari Peradaban Desa tahun ini justru beroleh ruang refleksi yang substansial agar bangsa dan negara ini selamat dari jurang keterasingan dan ketidakadilan.

Barangkali “Napak Bumi” sebagai suatu bahasa asing yang tak layak diterjemahkan para elite yang terkesan sibuk menggapai langit, melupakan tanah tempat mereka berpijak. Stereotipe seperti ruwet, lambat, kuno, tertinggal, dan primitif, menjadi tembok tak kasat mata yang membungkam makna sejati dari suara-suara tersebut.

“Tidak heran jika kebijakan terus mengalir dari atas, tanpa pernah benar-benar mencoba memahami makna dari bawah. Ada kesenjangan, kesalahan penerjemahan yang akut, sehingga keadilan pun menjadi fatamorgana,” ucapnya.

Namun, pesan “Napak Bumi” perlu diartikulasikan karena peranan sebagai seruan untuk mereka yang terlena di puncak piramida dan malah berambisi makin terbang tinggi, tanpa menyadari bahwa akar hidup mereka semakin rapuh.

Ironi tentang semakin tinggi mereka terbang menjadikan kian lupa cara mendarat mesti ditangkal dengan kesadaran atas arti kembali, mendarat, dan menyelami makna keadilan sejak dari dalam pikiran.

“Sebagaimana pesan bijak dari Mbah Pram (Sastrawan Pramoedya Ananta Toer/1925-2006),” ucap Brian yang berasal dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah itu.

Kenduri

Sebelum tengah malam mengantar Selasa (20/5) beralih kepada jatuhnya hari peringatan itu, acara Hari Peradaban Desa ditandai dengan kenduri tumpeng “Selametan”, pembacaan doa dan mantra kejawen oleh pimpinan Padepokan Tjipto Boedojo, Sitras Anjilin (66). Hadir pula dengan duduk bersila di atas tikar antara lain Rektor Universitas Tidar (Untidar) Magelang Sugiyarto, sejumlah perwakilan kelompok seniman “Kiai Kanjeng” Yogyakarta, dan beberapa peneliti serta pemerhati budaya.

Sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung melakukan performa seni “Mberat Sukerta” pada peringatan Hari Peradaban Desa 2025 dengan tema “Napak Bumi” di kompleks Padepokan Tjipto Boedaja Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (21/5/2025) pagi. ANTARA/Hari Atmoko

Sitras, yang juga tokoh sesepuh Komunitas Lima Gunung itu, memimpin para pegiat seni budaya yang hadir malam itu, untuk retret dengan melantunkan masing-masing 12 bait tembang Mocopat, bersumber dari Serat Kalatidha (Pupuh Sinom) karya pujangga Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) dan Sesinggah (Pangkur) karya Ulama Sunan Kalijaga (1450-1592).

Bait pertama pupuh Sinom terasa membawa mereka kepada refleksi tentang negeri yang sepi karena kerusakan cara berkomunikasi, kehilangan keteladanan, dan marjinalisasi sopan santun, sementara para bijak pandai terbawa arus zaman kalatida atau ketidakpastian dan semua orang abai serta masuk arus godaan.

Pupuh Pangkur dalam Sesinggah berupa bait demi bait mantra tolak bala dilantunkan komunitas malam itu agar manusia terbebas dari marabahaya dan bencana.

Pada pagi harinya bersamaan waktu matahari terbit, Rabu (21/5), setelah prosesi jalan kaki mengelilingi Dusun Tutup Ngisor, sekitar delapan kilometer barat daya puncak Gunung Merapi, tanda tolak bala dihadirkan sejumlah seniman petani melalui performa seni.

Mereka, yakni seniman Mastur, Khoirul Mutakin, Gianto, Sujono, dan Shuko Sastro Gending, selama beberapa saat melakukan performa seni berjudul “Mberat Sukerta”, berupa jamasan lumpur di depan Candi Sapta Widayat, kompleks padepokan tersebut. Suasana pada sesi ini juga diwarnai dengan pembacaan puisi oleh dua penyair komunitas, Lie Thian Hauw (Haris Kertorahardjo) dan Hudi DW.

Dengan iringan tembang-tembang dan ungkapan mantra Jawa, mereka sambil memegang batangan dupa, menaburkan bunga mawar merah dan putih, serta memantik alat bunyi-bunyian, berjalan kaki mengelilingi dusun itu, seakan menyambut matahari terbit di kawasan Gunung Merapi.

Setelah peserta prosesi tiba di depan Candi Sapta Widayat, dilanjutkan dengan pembasuhan kaki menggunakan air yang dikumpulkan dari beberapa mata air di Magelang oleh pegiat komunitas. Mereka kemudian memasuki bangunan di atas kolam, berupa cungkup pendiri Padepokan Tjipto Boedaja, Romo Yoso Sudarmo (1885-1990), untuk berziarah dan takzim berdoa, sebagai ruang penting dalam tema “Napak Bumi”, selain penghormatan terhadap leluhur manusia gunung dengan warisan nilai-nilai kearifan dan budaya masyarakat desa.

Peringatan Hari Peradaban Desa dengan “Napak Bumi” sebagai tema kali ini, oleh budayawan Sutanto Mendut dipandang sebagai penguatan atas kehadiran, aktivitas budaya dan berkesenian, serta peran inspiratif Komunitas Lima Gunung selama ini, bagi penjagaan kekuatan nilai-nilai kehidupan desa dan gunung.

Komunitas itu dengan perkembangan dan dinamika berjejaring juga menghidupi tradisi Festival Lima Gunung dengan kekuatan mandiri. Pada tahun ini, festival mereka yang telah mendunia tersebut bakal memasuki perhelatan ke-24 kali secara berturut-turut, termasuk ketika beberapa tahun pernah terjadi pandemi global COVID-19. Komunitas tersebut sedang mulai menyiapkan garapan Festival Lima Gunung untuk tahun ini.

Bagaikan menapak bumi, perjalanan kehidupan Komunitas Lima Gunung diungkap Sutanto dalam sarasehan Hari Peradaban Desa, Selasa (20/5) malam, di pendopo padepokan setempat, sebagai “diturunkan dari langit” memberi guna bagi bumi, lingkungan, sesama makhluk, dan semesta makna kehidupan, serta menjadi bagian hal ihwal itu.

Oleh karenanya, mereka harus tawaduk. Tidak semua tindakan seni budaya dan kelindan pemikiran bersama dalam kerangka komunitas, selalu memperoleh hasil sempurna atau sesuai rancangan pikiran.

Namun demikian, atas kesadaran tentang keberadaan sebagai manusia-manusia wadak yang harus “Napak Bumi”, mereka telah menorehkan catatan panjang yang penting tentang pengejawantahan makna rahmatan lil-alamin. Termasuk tahun ini, keadaan terkini membuat mereka mengajak siapa saja menyadari kesunyataan untuk memenuhi panggilan nurani, “Napak Bumi”. (ANTARA / M. Hari Atmoko)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *