Tradisi “Ninjau Haji” di Jembrana Bertahan Lintas Generasi

  • Whatsapp
Warga memanjatkan doa bagi keluarganya yang melakukan perjalanan menunaikan ibadah haji saat tradisi ninjau haji di Taman Pecangakan, Kota Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, beberapa waktu lalu. ANTARA/Gembong Ismadi.

Negara, 27/5 (ANTARA) – Tradisi ninjau haji atau mengantar keberangkatan haji di Kabupaten Jembrana, Bali, bertahan lintas generasi, bahkan dianggap sebagai “lebaran” ketiga bagi Umat Islam di wilayah setempat.

Musadat Johar, budayawan Kampung Loloan, Kabupaten Jembrana, masih mengingat sewaktu kecil, salah satu momen yang dirinya tunggu adalah ninjau haji.

Bagi anak-anak, ninjau haji yang dilakukan pada hari yang sama dengan keberangkatan jamaah calon haji itu berarti mereka akan diajak jalan-jalan, sekaligus rekreasi oleh orang tuanya.

“Pada masa saya anak-anak, lokasi terjauh ninjau haji sampai di Gilimanuk. Dengan bus dan kondisi jalan masa itu, jarak tersebut terasa jauh sekali,” kata laki-laki yang usianya sudah lebih 60 tahun ini.

Jika diterjemahkan secara bebas, ninjau haji berasal dari Bahasa Melayu lokal yang bisa diartikan mengantar keberangkatan jamaah calon haji.

Bahasa dan logat Melayu merupakan bahasa pergaulan sehari-hari mayoritas umat Muslim di Kabupaten Jembrana, yang dikenal dengan istilah “bahasa kampung”.

Mengakarnya bahasa dan logat Melayu ini, berasal dari Suku Bugis, yang membuka kampung Muslim pertama di Jembrana pada ratusan tahun lalu di kawasan itu, sebagai dari hadiah raja setempat, saat itu.

Meskipun arti ninjau haji adalah mengantar keberangkatan haji, sebagian besar masyarakat yang mengantar malah tidak datang ke titik pusat pemberangkatan haji di Kota Negara, Ibu Kota Kabupaten Jembrana.

Saat jamaah calon haji mengikuti seremonial pelepasan di masjid masing-masing desa dilanjutkan pelepasan tingkat kabupaten di Kota Negara, kemudian diberangkatkan dengan bus ke asrama haji di Surabaya, Provinsi Jawa Timur, sebagian besar masyarakat yang ninjau haji tidak mengikuti kegiatan tersebut.

Saat jamaah calon haji menuju dan mengikuti seremonial pemberangkatan, pada saat bersamaan warga yang ninjau haji juga langsung berangkat menuju lokasi yang sudah direncanakan untuk berwisata, terlepas dari seremonial jamaah haji.

Dengan berbagai moda transportasi yang didominasi sepeda motor, Umat Islam menuju ke berbagai penjuru, khususnya ke tempat-tempat wisata.

Tidak hanya di Kabupaten Jembrana, biasanya rombongan yang ninjau haji juga memadati lokasi wisata di Kabupaten Buleleng, seperti Labuhan Lalang, Banyuwedang, hingga Pulaki.

Bahkan, bagi anak-anak muda, menyeberang ke Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, menjadi tujuan yang keren saat ninjau haji.

Tradisi yang menurut Musadat Johar asal muasalnya bisa ditarik ke pemberangkatan haji dengan perahu di muara laut yang dikenal dengan sebutan Tanjung Tangis, seiring masa terjadi pergeseran cara mengekpresikannya.

Saat jamaah haji masih berangkat menggunakan perahu, kata dia, keluarga dan masyarakat bertangis-tangisan di muara yang saat ini berlokasi di antara Desa Pengambengan, Kecamatan Negara dengan Desa Perancak, Kecamatan Jembrana.

“Karena naik perahu, ada potensi besar orang yang berangkat haji tidak akan kembali. Bisa karena badai di tengah laut atau meninggal di Tanah Suci Makkah. Sehingga keberangkatan jamaah haji dilepas dengan harapan dan tangisan. Itulah kenapa muara tempat keberangkatan jamaah haji dikenal dengan sebutan tanjung tangis,” katanya.

Kala itu, melalui jalur laut, seseorang yang berangkat haji dari Jembrana baru akan pulang lagi dalam waktu enam bulan lebih, bahkan satu tahun.

Selain karena jenis transportasi, ada juga jamaah yang sekalian belajar ilmu agama di Makkah. Tidak heran, dulu orang yang pulang dari ibadah haji juga membawa tambahan ilmu agama.

Dari tangis jadi gembira

Jika pada zaman berangkat dengan perahu, luapan emosi adalah tangisan, di zaman transportasi modern dengan pesawat terbang, luapan emosi berubah dari tangisan menjadi kegembiraan.

Memang masih ada tangisan dari keluarga yang ditinggalkan, tapi juga disertai rasa optimistis bahwa jamaah haji akan kembali pulang.

Sebuah tradisi yang lahir dari naluri dan intuisi manusia, meski tanpa proteksi yang njlimet, acapkali bisa bertahan dan berlaku lintas generasi. Apalagi jika tradisi itu menyangkut hal-hal yang membuat manusia gembira sebagaimana ninjau haji.

Karena membuat rasa gembira itu barangkali yang membuat tua, muda, hingga anak-anak rela meninggalkan aktivitas rutinnya demi bisa ninjau haji.

Anak-anak yang biasanya sulit dibangunkan untuk sekolah, saat hari ninjau haji, pagi sekali sudah bangun sendiri. Semua itu karena dipicu luapan kegembiraan dari tradisi ninjau haji.

Saat ninjau haji, suasana desa-desa yang mayoritas dihuni Umat Islam di Kabupaten Jembrana lebih sunyi dari biasanya, karena sebagian besar warga menuju berbagai lokasi wisata merayakan keberangkatan jamaah calon haji.

Dan tentu saja yang paling sibuk adalah kaum ibu yang menyiapkan perbekalan. Bukan perbekalan uang, tapi makanan matang, bahkan juga yang masih berbentuk bahan untuk dimasak di lokasi rekreasi.

Kaum emak-emak biasanya sudah berbagi tugas dengan saudara atau kawan-kawannya, terkait siapa yang membawa bahan masakan hingga kompor gas portabel.

Sesampainya di lokasi tujuan, mereka akan menggelar tikar, menyalakan kompor dan memasak bahan-bahan yang sudah disiapkan.

Uang boleh pas-pasan, bahkan hanya cukup untuk membeli bahan bakar sepeda motor saja, tapi saat ninjau haji harus tetap keluar. Membawa makanan matang atau bahan mentah, selain menghemat juga membuat lebih gembira dengan masak dan makan bersama, kata Ayu, salah seorang warga Desa Pengambengan, yang ditemui saat melakukan ninjau haji.

Bersama keluarga serta sejumlah kawannya, dia memilih pantai di Kelurahan Gilimanuk yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Desa Pengambengan sebagai lokasi untuk ninjau haji.

Meski tidak sampai membawa kompor gas, Alfina Laila, warga Desa Pengambengan lainnya, membawa buah-buahan, pisau, serta bumbu rujak untuk dia racik bersama keluarganya di Taman Pecangakan, Kota Negara.

Meski tidak tahu asal mula tradisi ninjau haji, Ayu maupun Alfina menganggap hal tersebut tidak terlalu penting, karena bagi mereka yang utama adalah rekreasi dan berkumpul bersama keluarga dan kawan.

Momen itu dijaikan sebagai istirahat sejenak dari rutinitas. DI balik kegembiraan itu, mereka juga menyelipkan doa atau harapan, kelak juga bisa berangkat, naik haji ke Makkah.

Kegembiraan yang dibalut harapan keimanan, bisa menjadi doa para pelaku ninjau haji untuk suatu saat bisa berangkat haji juga.

Ninjau haji di Kabupaten Jembrana, meski melewati masa transportasi perahu hingga ke pesawat terbang, tidak kehilangan pesonanya.

Memang, secara naluriah, manusia perlu kegembiraan. Apapun yang bisa membawa kegembiraan pasti dipertahankan seperti halnya tradisi ninjau haji. (ANTARA / Gembong Ismadi / Widodo S Jusuf)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *