Patoman – Banyuwangi, Gamelan mulai ditabuh. Menara pengusung Jenazah (Bade) diangkat. Arak-arakan berjalan riuh. Keluarga, handai taulan tetangga dan orang-orang berjejalan hendak turut mengantarkan jenazah yang baru meninggal ke tempat pembakaran jenazah. Dilebur dengan api menjadi abu, Ngaben.
Pada Selasa, 3 Desember kemarin, telah dilaksanakan upacara Ngaben di Kampung Pancasila, yaitu di Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman, Kecamatan Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi.
“Sebenarnya Ngaben kali ini bukan Ngaben masal sih ya, hanya karena yang meninggal dunia 3 orang dalam waktu yang berdekatan, maka kemudian diputuskan untuk dilaksanakan upacara Ngaben bersama-sama. Praktis yang mengantar jenazahnya kan banyak sekali, sekira 300 orang. Akhirnya nuansanya seperti Ngaben masal” ungkap Bapak Made Hardana, selaku Klian Dinas Banjar Patoman, atau disebut juga Kepala Dusun Patoman Tengah, Desa Patoman.
3 jenazah yang dilakukan upacara Ngaben yaitu, pertama Ibu Ni Nyoman Wasni, yang juga Ibunda dari Bapak Made Swastiko, SE., mantan Anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi. Kedua, Bapak Ketut Suweda dan Ketiga Ibu Putu Wentri. Ketiga-tiganya berada di RT yang sama, yakni RT 001 RW 001 Dusun Patoman Tengah.
Menurut Klian Adat Banjar Patoman, Kayan Yudiasa “Upacara Ngaben yang sakral ini sudah identik dengan umat Hindu di Indonesia, khususnya di Bali. Kami meyakini, Ngaben dapat menyucikan roh anggota keluarga yang sudah meninggal dunia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Ngaben merupakan ritual yang wajib dilakukan untuk mengirim jenazah ke kehidupan mendatang.”
Kata ‘Ngaben’ berasal dari kata ‘beya’ yang berarti bekal. Ngaben disebut juga ‘Palebon’ yang berasal dari kata ‘Lebu’ yang berarti Pratiwi atau Tanah (Debu). Untuk mempercepat proses tubuh manusia yang meninggal menjadi tanah, adalah dengan dibakar, Ngaben.
Ketua Parisada Hindu Banjar Patoman, Made Arta lebih jauh menerangkan “Menurut ajaran Agama Hindu, manusia terdiri dari tiga lapisan: yakni Raga Sarira, Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar atau tubuh fisik manusia. Suksma Sarira adalah badan astral berupa pikiran, perasaan, keinginan dan nafsu. Sedangkan Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma.”
Ketika manusia meninggal, tentu Raga Sarira tidak lagi berfungsi. Sementara Atma atau Jiwa / Roh yang sudah terlalu lama di dalam tubuh dan dikungkung oleh Suksma Sarira harus segera meninggalkan badan, karena jika terlalu lama, maka Atma akan menderita.
Terkait dengan pentingnya upacara Ngaben, dijelaskan oleh Mangku Gede Parso Susilo, Tokoh Agama Hindu yang juga menjabat sebagai Anggota BPD Desa Patoman. “Manusia yang telah meninggal dunia perlu diupacarakan atau di-Ngaben untuk mempercepat proses kembalinya badan kasar ke sumbernya di alam, yang disebut Panca Mahabhuta: Pertiwi (Tanah), Apah (Air), Teja (Api), Bayu (Udara) dan Akasa (Ruang). Proses ini lah yang disebut Ngaben.”
“Jika Ngaben ditunda terlalu lama, maka rohnya akan gentayangan dan akan menjadi Bhuta Cuwil. Demikian pula bila orang meninggal dunia lalu dikubur tanpa upacara yang patut. Hal itu disebabkan karena roh-roh tersebut belum melepaskan keterikatannya dengan alam manusia. Maka, perlu diadakan upacara Ngaben Bhuta Cuwil” lanjut Pak Mangku Parso.
Satu hari sebelumnya, pada Senin 2 Desember saat melayat ke rumah duka, Bapak Kepala Desa Patoman, Drs. Suwito menyampaikan duka cita dan bela sungkawa yang dalam. “Kami atas nama Pemerintah Desa Patoman menyampaikan duka cita dan bela sungkawa sedalam-dalamnya. Amor ring Acintya. Semoga Almarhum Almarhumah diberikan tempat terbaik di sisi Tuhan dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan, kesabaran dan kekuatan.”
Upacara Ngaben dimulai pada jam 09.00 WIB dan berakhir pada jam 12.00 WIB. Upacara berjalan lancar dan khidmat.
(Lukman Hadi – Jurnalis Desa)