Wamena, 17/5 (ANTARA) – Owasi-Owasika merupakan tiga kata dalam bahasa daerah bagi masyarakat Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, untuk menyebut rumput ilalang atau Rumput Mei, sebutan kebanyakan orang di daerah itu. Fenomena berbunga atau mekarnya rumput ini hanya terjadi antara 5 hingga 14 Mei setiap tahunnya.
Rumput Mei ini sangat unik dan bisa dikatakan sebagai keajaiban alam yang Tuhan ciptakan hanya untuk Kabupaten Jayawijaya yang terkenal dengan udaranya yang dingin.
Meskipun dikategorikan sebagai tanaman liar, namun kemunculan bunga Rumput Mei memberikan daya tarik luar biasa bagi wisatawan untuk berkunjung ke Wamena, pusat pemerintahan Provinsi Papua Pegunungan, maupun Kabupaten Jayawijaya.
Penyebaran Rumput Mei hampir di seluruh wilayah Kabupaten Jayawijaya dan saat berbunga berwarna ungu secara bersamaan, hingga memancarkan keindahan yang tiada tara. Uniknya, rumput ini hanya berbunga satu kali setiap tahunnya dan hanya berlangsung pada bulan Mei, sehingga populer dengan sebutan Rumput Mei.
Untuk menikmati keindahan alam, banyak wisatawan asing dan lokal di Tanah Papua maupun Nusantara berkunjung ke Wamena untuk dapat mengabadikan momen itu dengan berbagai cara, salah satunya dengan berswafoto.
“Saya sudah niatkan untuk kumpulkan uang dari awal tahun supaya dapat datang ke sini melihat secara langsung rumput indah ini. Semoga tahun depan bisa datang kembali untuk menikmati keindahan Rumput Mei,” kata Yulanda, wisatawan lokal dari Jayapura, ketika berbincang dengan ANTARA.
Keindahan alam rumput itu, meskipun hanya sebentar, namun dimanfaatkan oleh masyarakat lokal maupun wisatawan untuk benar-benar mengabadikannya dalam bentuk foto bercerita maupun video pendek tentang keindahan yang ditawarkan itu.
Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, merupakan kawasan elok yang berada di Lembah Baliem yang kebanyakan orang mengatakanya ibarat “kuali raksasa” karena memang letaknya di tengah-tengah gunung yang mengelilingi.
Daerah yang sering dijadikan lokasi berswafoto masyarakat ketika munculnya bunga Rumput Mei, di antaranya berlatar belakang Gunung Susu, Pugima, Pasir Putih Kurulu, Wesaput, Walesi, dan Napua.
Kawasan itu sejak kemunculan Owasi-Owasika akan dipadati masyarakat dari berbagai kalangan, termasuk wisatawan asing, lokal, maupun Nusantara.
Tanpa tiket
Untuk menikmati keindahan bunga Rumput Mei, pengunjung tidak perlu mengeluarkan biaya, karena masyarakat lokal atau penduduk asli setempat tidak memberikan tarif untuk pengunjung.
Masyarakat atau wisatawan cukup memarkir kendaraannya di pinggir jalan dan langsung mulai berswafoto dengan berbagai gaya untuk memperoleh hasil foto yang baik.
Amatus Huby, pemuda setempat, menyatakan warga tidak pernah memungut biaya untuk wisatawan yang datang berswafoto, kecuali pengunjung masuk ke dalam lokasi-lokasi objek wisata, barulah dikenakan biaya. Dengan hadirnya pengunjung, masyarakat setempat sangat senang karena daerahnya akan semakin terkenal ke wilayah lain, bahkan ke mancanegara.
Arti Owasi-owasika
Dalam bahasa daerah setempat, Owasi-owasika berasal dari tiga kata, yakni owa, owasi, dan eka. Owa artinya dirinya atau padanya (dalam konteks ini pada rumput atau bunga ini). Owasi berarti bau (harum), dan eka berarti daun.
Rumput Mei ini diperkirakan menghiasi Lembah Baliem sejak kurun waktu 1970-an, hingga saat ini. Rumput ini mudah tumbuh di dataran tinggi dan perbukitan yang kering.
Rumput ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kepentingan ternak, pembangunan pagar dan sebagai obat herbal.
Masyarakat biasanya membiarkan ternak mereka, seperti sapi dan kambing, dilepasliarkan di alam bebas dan hewan ternak itu memakan rumput ilalang tersebut.
Selain itu juga rumput liar ini biasa dikeringkan dan dijadikan sebagai pelengkap pembuatan pagar tradisional yang terbuat dari kayu.
Masyarakat lokal juga memercayai bahwa rumput ini memiliki khasiat dalam penyembuhan berbagai penyakit. Maka sejak turun temurun telah digunakan oleh masyarakat lokal untuk penyembuhan dengan cara merebus rumput itu.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayawijaya mendukung pembangunan pariwisata di daerah itu melalui berbagai kegiatan.
Tahun 2024, sebelum adanya kebijakan pusat mengenai efisiensi anggaran yang termuat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 tahun 2025, Disbudpar menggelar kegiatan dalam menyambut fenomena Rumput Mei.
Akan tetapi, setelah adanya kebijakan efisiensi, maka tahun 2025 kegiatan tersebut sementara ditiadakan dalam rangka mendukung kebijakan negara tentang efisiensi anggaran.
Minimal, untuk menggelar kegiatan Rumput Mei seperti tahun lalu itu menghabiskan Rp300 juta. Saat ini anggaran dipangkas, sehingga Pemkab Jayawijaya tidak menyelenggarakan festival itu.
Fenomena Rumput Mei yang sangat luar biasa dan terjadi satu kali dalam setahun ini kalau dikemas secara baik dapat meningkatkan pemasukan kepada masyarakat maupun pendapatan asli daerah (PAD).
Keindahan Rumput Mei akan terjadi beberapa hari pada bulan Mei setiap tahun, dan rumput ini akan berbunga dengan daunnya kecil berwarna ungu kemerahan hampir di semua wilayah atau 40 distrik di Kabupaten Jayawijaya.
Dimana ada hamparan luas pasti terdapat rumput tersebut yang berkembang bebas dan hanya berbunga pada bulan Mei.
Ke depan, setelah kebijakan tentang efisiensi ini dilonggarkan, maka pemerintah daerah bisa menganggarkan untuk merancang satu kegiatan festival untuk menyambut fenomena berbunga atau mekarnya Rumput Mei.
Keindahan alam yang indah ini patut dijaga dan dilestarikan sebagai anugerah yang Tuhan berikan bagi masyarakat di Lembah Baliem. Keunikan ini tidak terdapat di daerah lain, baik di Papua Pegunungan maupun daerah lainnya di Indonesia. (ANTARA / Yudhi Efendi)