MAKASAR – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Suhajar Diantoro menekankan pentingnya mengelola urbanisasi.
Menurutnya, urbanisasi merupakan salah satu tantangan yang dihadapi daerah perkotaan. Pemerintah tidak dapat melarang masyarakat untuk pindah ke kota karena hal itu dilindungi oleh regulasi.
Pemerintah justru diarahkan mengelola kondisi tersebut agar urbanisasi memberikan dampak yang baik bagi pertumbuhan ekonomi di daerah perkotaan.
“Mengelola urbanisasi, mengelola orang kampung yang datang ke kota, itu isu yang harus kita selesaikan, bukan justru dengan menolak-nolaknya,” terang Suhajar kepada media usai Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XVI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) di Kota Makassar, Rabu (12/7/2023).
Suhajar menyadari saat ini pengelolan terhadap masyarakat urban belum terlalu optimal. Hal ini membuat dampak keberadaan penduduk urban tidak terlalu signifikan bagi pertumbuhan kota. Berdasarkan data yang dikantonginya, pertumbuhan 1 persen penduduk perkotaan di Indonesia, hanya meningkatkan 1,4 persen produk domestik bruto (PDB) per kapita.
Padahal di negara-negara Asia Timur dan Pasifik pertumbuhan 1 persen penduduk perkotaan, dapat meningkatkan 2,7 persen PDB per kapita. Kondisi ini perlu menjadi perhatian banyak pihak agar mulai mengelola masyarakat urban dengan baik.
Suhajar mengatakan, urbanisasi merupakan fenomena yang juga terjadi di negara-negara lain. Menurutnya, di kota-kota maju negara lain sudah berpikir untuk mengelola urbanisasi dengan baik. Karena itu, kota-kota di Indonesia perlu mengikuti langkah tersebut. Terlebih, banyak masyarakat di Indonesia yang diperkirakan akan lebih memilih tinggal di kota.
Dalam kesempatan itu, Suhajar juga menekankan berbagai isu penting lainnya yang dihadapi daerah perkotaan. Hal itu salah satunya mengenai polusi udara yang perlu menjadi perhatian banyak pihak. Pasalnya, sejumlah kota di Indonesia memiliki kadar polusi udara yang terbilang tinggi. Hal ini menjadi persoalan bersama yang perlu diatasi, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
“(Polusi) ini juga persoalan, karena tempat tinggal (atau) masyarakat yang nyaman salah satu contohnya (tinggal di daerah dengan) udara yang nyaman,” tandasnya.
Branding Kota
Sementara saat menyampaikan sambutan, Suhajar Diantoro mendorong percepatan pelaksanaan dan pengembangan branding dengan tujuan menjadikan kota tidak hanya sebagai lokasi, tetapi juga sebuah tujuan. Dengan pengertian lain, mengubah kota menjadi sebuah tempat di mana manusia ingin bertempat tinggal, bekerja, dan berkunjung.
”Branding kota seperti ‘Enjoy Jakarta’, ‘Solo: The Spirit of Java’, atau ‘Kota Wisata Batu’ telah mengangkat identitas lokal yang ada di berbagai daerah Indonesia menjadi lebih dikenal luas,” demikian Sekjen.
“Kita berterima kasih pada kawan-kawan yang telah mem-branding kotanya dengan baik. Bandung mem-branding kotanya dengan sangat menarik, yang disebut dengan ‘Kecantikan yang Abadi’, luar biasa. Semarang mem-branding kotanya dengan keberagaman budaya, Jogja mengubah branding-nya menjadi ‘Jogja Istimewa’, ‘Surabaya Berkilau’,” tambahnya.
Suhajar menekankan, city branding adalah proses menuju kota masa depan. Branding yang tepat meliputi banyak aspek dari berbagai pemangku kepentingan, melalui visi bersama mengangkat kekhasan lokal yang menarik perhatian nasional, regional, dan global. Selain itu, city branding mampu mengintegrasikan berbagai program sektoral menuju branding yang dituju secara terpadu dan sinergis.
“Saya yakin dan percaya, branding kawan-kawan semua menimbulkan kebanggaan yang luar biasa baik untuk warga yang Bapak/Ibu pimpin, maupun untuk orang-orang yang datang ke kota yang Bapak/Ibu pimpin,” ujarnya.
Dia melanjutkan, branding kota sejalan dengan dokumen kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan nasional 2015-2045. Dokumen tersebut menyebutkan enam hal penting dalam membentuk kota yang berkelanjutan dan berdaya saing. Pertama, kota layak yang aman dan nyaman. Kedua, kota hijau yang berketahanan iklim dan bencana. Ketiga, kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis teknologi. Keempat, membangun identitas perkotaan Indonesia berbasis karakter fisik, keunggulan ekonomi, dan budaya lokal. Kelima, membangun keterkaitan dan manfaat antarkota dan desa-kota dalam sistem perkotaan nasional berbasis kewilayahan. Dan, keenam, tata kelola kota yang berkelanjutan. (*/jmdn)