Untuk Melindungi UMKM, Revisi Regulasi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Disahkan

  • Whatsapp
Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki

aJAKARTA – Pemerintah secara resmi telah mengesahkan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang menjadi payung hukum bagi upaya perlindungan UMKM dan menciptakan equal playing field dalam perdagangan di Indonesia.

Untuk mendukung pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik dalam negeri, melindungi konsumen, mendorong perkembangan perdaganganan melalui sistem elektronik, serta memperhatikan perkembangan teknologi yang dinamis, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik.

”Demikian salah satu ketentuan terbaru yang merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020,” kata Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki kepada media di Jakarta.

Revisi Permendag tersebut setidaknya memuat empat poin krusial, pertama, tidak boleh lagi ada penyatuan bisnis antara media sosial dan e-commerce atau social commerce. Sosial commerce hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk memberikan penawaran barang dan atau jasa.

“PPMSE dengan model bisnis Social-Commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada Sistem Elektroniknya,” katanya mengutip bunyi Pasal 21 ayat (3).

Siaran pers dari Humas Kementerian Koperasi dan UKM menyebut revisi Permendag juga mengatur tentang kewajiban menjalankan praktik usaha yang sehat.

Pertama, dalam Pasal 13 tertulis demi menjaga persaingan usaha yang sehat, “PPMSE wajib memastikan tidak adanya keterhubungan atau interkoneksi antara Sistem Elektronik yang digunakan sebagai sarana PMSE dengan Sistem Elektronik yang digunakan di luar sarana PMSE; dan tidak terjadi penyalahgunaan penguasaan data penggunanya untuk dimanfaatkan oleh PPMSE dan/atau perusahaan yang berafiliasi dalam Sistem Ekektroniknya”.

Kedua, tidak boleh menjual produk sendiri kecuali agregasi produk UMKM yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 33. PPMSE dengan model bisnis lokapasar (marketplace) dan/atau Social-Commerce dilarang bertindak sebagai produsen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang distribusi barang (Pasal 21).

Sementara itu, Agregasi Barang hanya dapat dilakukan untuk produk dalam negeri yang dibuktikan dengan penyampaian nomor induk berusaha Produsen kepada Pelaku Usaha yang menjalankan kegiatan Agregasi Barang (Pasal 33).

Ketiga, sebelum menjajakan barangnya, merchant harus terlebih dahulu memenuhi berbagai persyaratan, antara lain pemenuhan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau persyaratan teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti harus sudah memiliki serfikasi halal (Pasal 5).

Tak hanya itu saja, barang yang dijajakan juga harus menayangkan informasi mengenai bukti pemenuhan standar barang dan/atau jasa berupa nomor pendaftaran barang, SNI atau persyaratan teknis lainnya, nomor sertifikat halal, nomor registrasi produk barang terkait keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup, nomor izin, nomor registrasi, atau nomor sertifikat untuk produk kosmetik, obat, dan makanan sesuai dengan ketentuan (Pasal 11).

Pelaku PPMSE juga diwajibkan untuk mengutamakan Perdagangan Barang dan/atau Jasa hasil produksi dalam negeri; meningkatkan daya saing barang dan/atau Jasa hasil produksi dalam negeri; dan menyediakan fasilitas ruang promosi barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri (Pasal 32).

Keempat, revisi Permendag juga mengatur tentang batas minimum harga untuk barang crossborder minimal USD 100. Harga minimum tersebut bisa dikecualikan apabila barang yang dijajakan telah masuk dalam positif list yang ditetapkan oleh Menteri.

“Revisi ini dihadirkan untuk melindungi UMKM di Tanah Air, agar produk domestik punya daya saing. Pemerintah perlu menghadirkan equal playing field, fair trade baik untuk offline maupun online. Karena produk UMKM sudah digempur dengan predatory pricing alias beragam produk impor yang dijual dengan harga yang tidak masuk akal. Imbasnya, ada banyak produsen dan UMKM yang sudah gulung tikar,” kata Menteri Teten. (*/jmdn)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *